Sunday, April 22, 2007

MY WEEKLY ACTIVITY

Setelah pindah kembali ke Bukit Batok, saya mendapat kabar bahwa ada banyak teman2 dari Indonesia yang bertempat tinggal di daerah ini. Mereka sudah bikin kumpulan arisan sebulan sekali. “kenapa juga tidak buat kegiatan pengajian” pikir saya. Lalu saya berinisiatif untuk mengajak teman2 membuat grup tahsin khusus wilayah Bukit Batok. Alhamdulillah responnya baik sehingga terbentuklah pengajian dengan 8 anggota (pertama). “Tinggal mencari guru nich” gumam saya.

Segera sms Febi dan mbak Lena tanya kira2 siapa yang bisa diminta pertolongan untuk mengajarkan ibu2 bukit batok membaca alquran. Akhirnya ada juga yang bersedia. Kebetulan calon guru yang baru datang dari Jogja ini memang punya pengalaman dalam bidang dakwah dan tahsin. Pas, cocok deh. Lewat salah seorang teman yang kenal dengan beliau, saya mendapat konfirmasi bahwa beliau bersedia mengajar saya dan teman2.

Singkat cerita Februari kemarin tahsin mulai berjalan. Setiap jumat jam 12 siang, walaupun mulainya sering mundur dari waktu yang ditentukan. Wajarlah. Ada toleransi untuk yang satu itu karena memang tiap anggota punya alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ternyata teman2 serius dalam meraih ilmu. Ghirahnya tinggi. Tidak merasa malu karena harus memulai dari dasar. Saya pun jadi semangat. Ditambah lagi, guru yang mengajar sabar menghadapi ‘murid2nya’ ini. Maaf yah bu guru, saya sering nggak ikutan giliran karena sibuk meladeni sang pangeran tetapi sebisa mungkin tetap menyimak kok. Karena niatnya dari semula adalah belajar bukan sekedar datang dan ngobrol, materi pembelajaran berjalan lancar dan cepat. Tidak terasa sudah halaman sekian2. Minggu depan mau ada ‘ujian’ nich.Ayo belajar belajaaaarrr....

Seperti biasa, kalau ada kumpulan ibu2 pasti acara sampingan ini nggak ketinggalan. Makan2 tepatnya. Tuan rumah dengan ikhlas dan semangat 2007 menyediakan berbagai jenis menu makan siang + cemilan. Sudah tentu makanan khas Indonesia dan wenak2. Subhanallah. Perut kenyang, ilmu tambah. Nikmat dari Allah. Sambil menyantap siang obrolan pun berlangsung hangat. Canda tawa ditingkahi sesekali teriakan ibu2 melarang anak2 yang kadang bermain agak2 membahayakan.

Jika sudah selesai acara utamanya saya langsung pamit pulang. Bukannya tidak ingin bercengkerama lebih lama tetapi anak pre-teen saya sudah pulang sekolah. Selain itu, pukul 3 sore dia harus pergi ke ArRaudhah mosque belajar agama (madrasah). InsyaAllah minggu depan jumpa lagi.

Nah, ini member dari tahsin Bukit Batok.Bu guru Army berdiri paling kiri di barisan belakang. Lalu mbak Dewi yang paling sering nanya dan sering humor, Ati-paling semangat untuk dikasih PR bahkan minta (dalam foto Ati sedang menggendong anaknya Sitta), Sitta-saat ini satu2nya ibu yang sedang menyusui di kelompok tahsin BB. Yang paling kanan dibarisan itu adalah ibu Rina seorang dokter anak yang lagi “cuti” karena sedang mempersiapkan ujian persamaan agar bisa praktek lagi di salah satu rumah sakit disini. Barisan depan dari kiri Tetit-sering bawa potluck berupa kue2, Amy sang bendahara yang begitu antusias untuk menagih uang iuran, Nia-her preschool daughter is fluent in English dan saya sendiri yang tugasnya menyebarkan jadwal pengajian tiap minggunya. (Lokasi di ruang tamu rumah Amy, photographer Zaza, jumat 20 april)

Wednesday, April 18, 2007

COOKING OH NO!

Salah satu pekerjaan tumah tangga yang sampai detik saya menulis di computer adalah suatu pekerjaan mempunyai challenge yang besar adalah memasak!. Heran?? Bisa jadi, untuk sebagian orang yang punya hobi ngutak ngatik di dapur. Bila ditanya pilih mana menyetrika atau memasak? Pilihan saya pasti yang pertama. Memang sejatinya seorang perempuan mempunyai kecintaan terhadap aktivitas yang mempunyai hubungan langsung dengan pemanjaan perut baik perut sendiri maupun perut orang2 yang disayangi. Tidak dipungkiri saat ini rasa itu belum muncul LAGI dalam diri saya. Kenapa LAGI? Sudah pernah cinta sama yang namanya memasak sebelumnya?

Sebelum menikah bisa dikatakan saya jarang berkutat di dapur kecuali untuk masak indomie dan saat akan lebaran (pembantu pulkam, jadilah saya sebagai asisten chef). Ibu saya tidak pernah menyuruh saya untuk belajar memasak bahkan menjelang saya menikah. Salahkah ibu saya karena tidak mengajarkan anak perempuannya memasak? Tentu tidak! Saat suami datang kepada orang tua untuk melamar saya, ibu saya menegaskan bahwa saya tidak bisa memasak. Jika keberatan, proses tidak perlu dilanjutkan.

Memasak mau tidak mau akhirnya menjadi bagian dari hidup saya setelah menikah. Apalagi 2 bulan sesudah menikah saya dan suami harus terpisah dengan keluarga ribuan kilometer jauhnya menyeberang benua. Pelajaran memasak pertama saya dapat justru dari suami. Setelah itu mulai deh tanya teman sana sini. Ditunjang dengan alat2 masak yang cukup lengkap waktu itu, sedikit demi sedikit keterampilan masak saya mulai terasah. Started falling for cooking

Suddenly, harus pulang ke Jakarta. Mulailah keenakan dengan masakan yang sudah tersedia di meja makan tanpa harus bertungkus lumus di dapur. Tidak pernah memasak lagi. Kembali ke masa sebelum menikah.

Begitu pindah ke negaranya mbah LKY ini saya sudah mulai lupa resep masakan yang dulu pernah dibuat karena memang tidak pernah mencatatnya di buku hanya berdasarkan daya ingat. Karena kelamaan tidak dipraktekkan, resep2 tersebut slowly but sure hilang. Mulai dari awal lagi deh. Masak yang mudah2. Menu dari a ke f terus balik ke a . Untuk mencoba resep yang dulu saya mendadak malas (sepertinya cinta sudah memudar) karena alat2 penunjang kegiatan seperti microvawe, grill, oven besar tidak ada dan tidak niat beli. Mahal!

Alhamdulillah suami dan anak nggak rewel dengan menu yang sering berulang dan tidak selalu favorit masing-masing.

“Bun, bikin pizza lagi dong. Pizza buatan bunda enak tuh kulitnya tebal dan empuk. Apalagi toppingnya banyak” rayu suami suatu hari. Lain waktu “masih inget roti isi dan cream supnya nggak? Bikin dong”. Diingatkan begitu bukannya saya semangat untuk membuat malah senyum2 bangga “weis gua bisa yach bikin pizza en roti”. Karena cuma senyum2 saja si pizza dan roti isi tidak terhidanglah di meja makan.” Maaf deh bi..... Lagian nggak ada oven tuh....”. Biasaaaa alasan.... Kalau yang ini agak susah untuk ‘ngeles’nya. Semalam suami bilang lagi “bunda nggak pernah buat salad buah lagi? Terus buah kaleng dicampur susu dengan aroma pandan juga nggak?”. Buatnya memang gampang dan nggak perlu oven dll. Ditagih begitu saya nyengir2 ajah....Dalam hati, ya deh kapan kapaaaan....(dilagukan seperti lagu Koes Plus itu lho)

Bila berteman dengan orang pintar, kita pun akan terikut pintar. Nah, saya sebenarnya dikelilingi oleh teman2 yang hobi dan pintar masak. Sahabat saya disaat hamil tua pun masih menyempatkan diri membuat berbagai jenis kue kering. Subhanallah! Teman yang sekarang sedang di rumah juga jago masak. Tapi ‘virus’ cinta memasak ini belum tertular ke saya. Mungkin ‘antibodi’ yang diproduksi oleh tubuh saya cukup kuat untuk menangkis serangan ‘virus’ ini.

Jujur saja, sebab dari belum munculnya keinginan untuk belajar memasak lebih karena saya cenderung untuk membagi waktu saya dengan aktivitas2 yang lain salah satunya ya ini, typing rambling story, dan saya pun mempunyai program lain yang ingin saya jalankan.

Nantilah mudah2an suatu saat adrenalin dalam tubuh akan membuat saya bergairah kembali untuk bersibuk ria di dapur sehingga tidak ada perkataan “itu panci tefalnya mau dilaminating terus dipajang ya? Juicer juga?”. Weiks....

Monday, April 16, 2007

IT'S ONLY A PIECE OF A TORN PAPER

Artikel di bawah ini bukan saya yang menulisnya tapi seorang kawan yang memang penulis.

Setelah minta izin sama yang punya tulisan, saya mengcopy-pastekan untuk disimpan disini. (Hanya saja tidak bisa diambil gambarnya...maklum kemampuan ngeblog saya sangat terbatas)

Saya terkesan dengan artikel yang pernah juga dimuat di Eramuslim online ini. Kisah sederhana yang berdasarkan pengalaman pribadi tetapi memberi pelajaran yang cukup ‘menyentil’ saya. Ahhh....bunda kakak zaza jadi malu nich sama nida....

Silahkan membaca dan merenungi. Mudah2an ada manfaatnya.

Untuk yang ingin tahu tulisan2 lain dari kawan saya ini, silahkan mampir ke rumahnya yang disini dan disana .

===================================================

Tak sampai selembar kertas

Seperti biasa, Nida selalu melakukan ritual sebelum tidur. Tadi, setelah ritual-ritual itu usai dilaksanakan, tiba-tiba dia turun dari tempat tidurnya.

“Ehh...Nida kan punya paper dari Aqila.” Serunya gembira seraya melesat menuju ruang tamu. Mengambil sesuatu dari tas sekolahnya yang tergeletak diatas sofa.

Pikir saya saat itu, pastilah paper dari Aqila, teman sekolahnya itu, sesuatu yang sangat berharga bagi Nida, terlihat dari bahasa tubuh dan riang nada suaranya.

Saya bayangkan rupa paper itu. Seperti apa ya? Ada gambarnyakah? Warnanya? Apa ada tulisannya?

Dan ketika Nida menghampiri saya sambil memperlihatkan ‘paper berharga’ itu dengan paras bangga. Saya tercenung...

Seperti ini? Gumam hati saya.

Hanya seperti ini?

Dan Nida sedemikian senang menerimanya? Bisik hati saya lagi.

Mata saya menghangat. Hati saya basah. Menulis artikel ini pun dengan perasaan haru dan airmata yang hampir luruh. Keluguan, kepolosan dan ketulusan Nida menerima pemberian temannya menyentuh nurani saya.

Tak sampai selembar kertas, hanya secuil kertas polos putih kira-kira 8 x 5 cm, dengan salah satu tepi tak rata (mungkin karena sobekan yang tak sempurna) bahkan tanpa segaris bentukpun dan Nida begitu bahagia menerimanya. Apa yang dirasakannya ketika temannya memberikan ‘hadiah’ itu?

Tak sampai selembar kertas....dan Nida sangat suka cita...?

Bagaimana dengan saya?

Begitu banyak anugerah, karunia yang telah diberikanNYA pada saya. Sangat banyak. Tak terhingga. Tak terhitung bahkan jika tintanya adalah tujuh lautan sekalipun.

Seperti apa saya menerimanya?

Ada sebongkah cinta dicurahkan oleh orang-orang terkasih.

Lalu sejumput perhatian dari teman-teman yang baik.

Seperti apa saya menerimanya?

Tak jarang saya begitu berterimakasih untuk pemberian yang ‘besar’ dan nampak secara kasat mata. Senantiasa mengingat-ingat cenderamata yang teraba wujudnya secara ‘nyata’.

Sementara begitu banyak pemberian yang terlihat kecil dan remeh temeh yang saya anggap biasa. Padahal tak ada pemberian yang sepele kecuali diri sendiri yang menganggapnya tak berharga.

Pada secuil kertas putih bersih yang bentuknya saya ‘abadi’kan pada gambar diatas, Allah menuntun saya memetik hikmah tentang ketulusan dan wajah sumringah Nida ketika menerimanya dari Aqila.

*****

Singapore, ketika secercah cahaya menyelinap relung hati…

Friday, April 13, 2007

DON'T BREED DANGER IN YOUR HOME

Berdasarkan informasi yang saya baca di liputan 6 SCTV, pemerintah provinsi Jakarta telah menetapkan KLB di wilayah Jakarta karena pasien penderita DBD semakin meningkat di sejumlah rumah sakit. Bulan maret lalu saat saya dan anak2 liburan ke Jakarta, di komplek saya tinggal dilakukan fogging karena dalam 1 rukun tetangga terdapat 2 warga yang terserang DBD.

DBD tidak saja mewabah di Indonesia. Akhir tahun lalu pun, penduduk disekitar flat saya ada yang menjadi korban DBD. Segala upaya pemberantasan dilakukan pemerintah Singapur.Bila perlu denda up to Sing$5000 bagi siapa saja yang ditemukan breed danger di rumahnya. Yalaaah, singapore is a ‘fine’ country whaat....

Teringat waktu saya dulu menjadi pasien DBD. Tidak terbayang bahwa saya akan terjangkiti penyakit ini. Awalnya tidak ada keluhan apa2 seperti pusing atau nggak enak badan. Sabtu siang sepulang dari Makro, badan saya meriang dengan temperatur 39.3C. Saya pikir kecapekan. Minum panadol. Tetapi hingga keesokan harinya panas tidak turun significant hanya bergeser sedikit. Saya mengambil keputusan untuk pergi ke RS JMC. Dicek oleh dokter masih panas lalu diberi obat anti virus. Disarankan untuk ambil darah 2 hari kemudian jika tetap demam.

Senin siang saya kembali ke RS JMC lalu diminta untuk ambil darah siang itu juga. Hasilnya positif DBD dan tifus. Dokter mengharuskan saya opname paling lambat malam itu. “jangan ditunda lagi bu! Ini sudah 131.000 trombositnya”. Dueeeng!!! Lemas badan saya. Yang terpikir saat itu adalah bayi saya yang masih menyusu. Kalau saya harus masuk rumah sakit bagaimana dengan bayi saya. Konsultasi dengan dokter yang periksa boleh tidak tetap menyusui. Dokter tersebut menyarankan ASI dipompa saja, bayi jangan diantar ke rumah sakit. Itupun masih harus ditanyakan dulu sama Dokter spesialis penyakit dalam yang akan merawat saya. Selain itu juga biaya rumah sakit. Baru 2.5 bulan lalu melahirkan dengan biaya yang cukup menguras tabungan.

Pulang ke rumah dengan perasaan kacau balau. Demi anak2 dan orang tua, air mata saya tahan2. Telpon teman yang pernah kena DBD. Sarannya sama, segera rawat inap. Lalu suami telpon dan menyarankan hal yang sama. Selain itu juga suami berusaha pulang selasa pagi (padahal sebelumnya sudah book tiket ke Jakarta kamis malam). “Qoni gimana ya?” saya bingung dan panik. “Biar Qoni sama ibu. Sekarang kamu beli susu untuk dia di koperasi” tegas ibu saya.

Malam itu juga baby Qoni di’training’ pake susu botol. Nggak mau, nangis meronta2. Mungkin yang sudah punya anak bisa membayangkan perasaan saya saat itu. Akhirnya, bismillah saya pergi juga ke rumah sakit tanpa mau mencium baby qoni dan zaza. Khawatir jebol ‘tanggulnya’. Mulailah malam itu perjuangan saya melawan demam berdarah.

Dirumah sakit langsung di cek sama DR Spesialis penyakit dalam. Beliau bingung lihat saya yang lagi ambil air wudhu untuk sembahyang isya. “Ibu yang sakit DBD kan? Masih kuat? Berapa sih trombositnya?” tanya beliau. “panasnya dah lama ya? Dari kapan? Kok trombositnya 131.000” lanjutnya. Saya jelaskan apa adanya.

Sewaktu sakit itu, nafsu makan hilang. Setiap kali makanan diantar ke kamar uggghh rasanya BT banget. Menghabiskan separuh porsi saja sudah hampir muntah2…. Baru terasa, sehat itu nikmat yang besar dari Allah.

Hari-hari selanjutnya trombosit saya makin rendah. 116.000, 105.000, 69000, 29000. Tidak boleh mandi hanya dilap, tidak boleh sikat gigi, hindari benturan keras anggota tubuh dengan benda2 yang ada di kamar.Banyak minum. Alhamdulillah saat trombosit saya turun terus, kondisi badan saya tetap stabil dalam artian saya tidak sampai halusinasi/mengigau, ke kamar mandi masih sanggup sendiri kecuali untuk buang air kecil. Karena terlalu sering saya minta untuk suster jaga membantu saya. Pipis di pispot gitu

“Bu, trombositnya turun lagi ya. Sekarang 29000”. Saya sudah mulai deg2an....kok turun terus yach. “Biasanya gitu kok bu....sampai hari ke 5-6 nanti hari ke 7 akan naik jika temperaturnya sudah normal” kata suster berusaha menenangkan. Waktu itu suhu badan saya masih 37C. “saya juga baru saja kena DBD waktu hamil 3 bulan bu” cerita seorang suster lain yang sedang melap saya pagi hari. “Trombositnya terakhir berapa?” saya ingin tahu. “25000 terus naik” jawabnya. Dalam benak saya besok bisa jadi trombosit naik karena sudah mencapai level 29000. Semakin rajin saya menegak segala jenis minuman. Air putih, jus jambu, minuman kaleng po--ri s----t, Ankak (minuman yang katanya bisa menaikkan trombosit dengan cepat).

Jam 6 pagi, rutinitas dimulai dengan ambil darah. Berharap2 cemas. Mudah2an sudah naik. Tiba2 pintu kamar dibuka, “ bu masih turun, 19000”. Duughh. Saya pasrah. Tidak membohongi kalau saya sudah berpikiran macam2. Kondisi yang terburuk yang mungkin terjadi. Sedih dan takut itu jelas. Terbayang anak2 saya. Wajah mereka apalagi yang baby itu. Terngiang2 celotehnya ketika bangun tidur. Teringat amalan2 saya yang masih minim. Suami nggak berani pulang karena pasti ditanya oleh orang tua saya tentang keadaan saya. “Kemarin bapak tiba2 sakit dengar bunda trombositnya turun terus” kata suami saya. SMS teman2 mohon doa dan juga dimaafkan kesalahan2 saya. Pokoknya dah pesan2lah.

Dokter memberi pilihan antara observasi dan transfusi. Suami meradang. “Sebagai dokter, anda yang lebih paham tentang kondisi istri saya. Bagaimana sebaiknya. Apa yang harus dilakukan segera. Bukan memberi pilihan seperti ini” begitu argumen suami saya. Akhirnya melihat kondisi saya yang stabil dokter tersebut memilih observasi dulu sampai besok hari. Suami pun mencari second opinion kepada adik sepupunya yang juga dokter spesialis. Pendapatnya sama. ‘Lihat saja dulu karena transfusi juga belum tentu menyelesaikan masalah’. Walaupun demikian istri kakak ipar bergerak cepat. Beliau mengontak temannya di PMI untuk menyiapkan 5 ampul golongan darah B jika besok saya butuh.

Sore jam 5.30 saya diambil darah lagi. Deg-degan lagi. Berapa yah? Sudah naikkah? Kakak2 ipar, bujing2 (tante dalam bahasa batak) kumpul di dalam kamar. Saya terhibur walaupun tetap sport jantung. “Brak!” pintu dibuka dengan keras. Semua kepala menoleh kearah datangnya suara. Saya sendiri menatap suster tersebut dengan pandangan aaahh....(nggak tahu mengungkapkanya). “naik bu, 26000”. “Alhamdulillaaah” terdengar koor panjang. Saya pun mengucapkan syukur kepada Allah. Legaaaa rasanya. Sekarang bisa tertawa dengan lepas tanpa beban.

Tetapi cobaan nggak sampai disitu. Sehari menjelang pulang, tiba2 kepala bagian belakang sebelah kiri berdenyut2 yang membuat saya nggak bisa tidur. Rasanya jangan ditanya. Dikasih obat penenang, obat tidur tetap saja nggak mempan. Obat2an yang diberikan kepada saya memang dosisnya terbatas karena saya masih menyusui. Walaupun obat2 ini pula pada akhirnya ASI saya sempat berhenti beberapa hari.

Setelah 9 hari dirawat saya pulang dengan kepala yang masih berdenyut2 dan harus cek ke dokter spesialis saraf pada sore dihari yang sama saya discharge dari hospital. “Ini hanya spasm bu. Saya kasih obatnya. Setelah ini cek lagi dengan dokter spesialis penyakit dalam ya” jelas dokter. Arrrghhh....Sebelum berangkat tadi bapak saya sempat khawatir.”Lho eneng opo mbalik nang omah sakit meneh?kowe ora opo2 tho?”.

Namun di balik cobaan ada hikmah. Janji Allah pasti benar. Alhamdulillah ada kejadian luar biasa yang dialami keluarga saya sewaktu saya jatuh sakit dan saya sangat bersyukur. Inikah jalannya? Sepertinya hidayah itu datang lewat sakitnya saya. Wallahu a'lam


Saya berterimakasih kepada semua keluarga/saudara dari pihak saya dan suami, teman2, tetangga yang sudah menyempatkan datang menjenguk dan memberikan doa untuk kesembuhan saya.