Berdasarkan informasi yang saya baca di liputan 6 SCTV, pemerintah provinsi Jakarta telah menetapkan KLB di wilayah Jakarta karena pasien penderita DBD semakin meningkat di sejumlah rumah sakit. Bulan maret lalu saat saya dan anak2 liburan ke Jakarta, di komplek saya tinggal dilakukan fogging karena dalam 1 rukun tetangga terdapat 2 warga yang terserang DBD.
DBD tidak saja mewabah di Indonesia. Akhir tahun lalu pun, penduduk disekitar flat saya ada yang menjadi korban DBD. Segala upaya pemberantasan dilakukan pemerintah Singapur.Bila perlu denda up to Sing$5000 bagi siapa saja yang ditemukan breed danger di rumahnya. Yalaaah, singapore is a ‘fine’ country whaat....
Teringat waktu saya dulu menjadi pasien DBD. Tidak terbayang bahwa saya akan terjangkiti penyakit ini. Awalnya tidak ada keluhan apa2 seperti pusing atau nggak enak badan. Sabtu siang sepulang dari Makro, badan saya meriang dengan temperatur 39.3C. Saya pikir kecapekan. Minum panadol. Tetapi hingga keesokan harinya panas tidak turun significant hanya bergeser sedikit. Saya mengambil keputusan untuk pergi ke RS JMC. Dicek oleh dokter masih panas lalu diberi obat anti virus. Disarankan untuk ambil darah 2 hari kemudian jika tetap demam.
Senin siang saya kembali ke RS JMC lalu diminta untuk ambil darah siang itu juga. Hasilnya positif DBD dan tifus. Dokter mengharuskan saya opname paling lambat malam itu. “jangan ditunda lagi bu! Ini sudah 131.000 trombositnya”. Dueeeng!!! Lemas badan saya. Yang terpikir saat itu adalah bayi saya yang masih menyusu. Kalau saya harus masuk rumah sakit bagaimana dengan bayi saya. Konsultasi dengan dokter yang periksa boleh tidak tetap menyusui. Dokter tersebut menyarankan ASI dipompa saja, bayi jangan diantar ke rumah sakit. Itupun masih harus ditanyakan dulu sama Dokter spesialis penyakit dalam yang akan merawat saya. Selain itu juga biaya rumah sakit. Baru 2.5 bulan lalu melahirkan dengan biaya yang cukup menguras tabungan.
Pulang ke rumah dengan perasaan kacau balau. Demi anak2 dan orang tua, air mata saya tahan2. Telpon teman yang pernah kena DBD. Sarannya sama, segera rawat inap. Lalu suami telpon dan menyarankan hal yang sama. Selain itu juga suami berusaha pulang selasa pagi (padahal sebelumnya sudah book tiket ke Jakarta kamis malam). “Qoni gimana ya?” saya bingung dan panik. “Biar Qoni sama ibu. Sekarang kamu beli susu untuk dia di koperasi” tegas ibu saya.
Malam itu juga baby Qoni di’training’ pake susu botol. Nggak mau, nangis meronta2. Mungkin yang sudah punya anak bisa membayangkan perasaan saya saat itu. Akhirnya, bismillah saya pergi juga ke rumah sakit tanpa mau mencium baby qoni dan zaza. Khawatir jebol ‘tanggulnya’. Mulailah malam itu perjuangan saya melawan demam berdarah.
Dirumah sakit langsung di cek sama DR Spesialis penyakit dalam. Beliau bingung lihat saya yang lagi ambil air wudhu untuk sembahyang isya. “Ibu yang sakit DBD kan? Masih kuat? Berapa sih trombositnya?” tanya beliau. “panasnya dah lama ya? Dari kapan? Kok trombositnya 131.000” lanjutnya. Saya jelaskan apa adanya.
Sewaktu sakit itu, nafsu makan hilang. Setiap kali makanan diantar ke kamar uggghh rasanya BT banget. Menghabiskan separuh porsi saja sudah hampir muntah2…. Baru terasa, sehat itu nikmat yang besar dari Allah.
Hari-hari selanjutnya trombosit saya makin rendah. 116.000, 105.000, 69000, 29000. Tidak boleh mandi hanya dilap, tidak boleh sikat gigi, hindari benturan keras anggota tubuh dengan benda2 yang ada di kamar.Banyak minum. Alhamdulillah saat trombosit saya turun terus, kondisi badan saya tetap stabil dalam artian saya tidak sampai halusinasi/mengigau, ke kamar mandi masih sanggup sendiri kecuali untuk buang air kecil. Karena terlalu sering saya minta untuk suster jaga membantu saya. Pipis di pispot gitu
“Bu, trombositnya turun lagi ya. Sekarang 29000”. Saya sudah mulai deg2an....kok turun terus yach. “Biasanya gitu kok bu....sampai hari ke 5-6 nanti hari ke 7 akan naik jika temperaturnya sudah normal” kata suster berusaha menenangkan. Waktu itu suhu badan saya masih 37C. “saya juga baru saja kena DBD waktu hamil 3 bulan bu” cerita seorang suster lain yang sedang melap saya pagi hari. “Trombositnya terakhir berapa?” saya ingin tahu. “25000 terus naik” jawabnya. Dalam benak saya besok bisa jadi trombosit naik karena sudah mencapai level 29000. Semakin rajin saya menegak segala jenis minuman. Air putih, jus jambu, minuman kaleng po--ri s----t, Ankak (minuman yang katanya bisa menaikkan trombosit dengan cepat).
Jam 6 pagi, rutinitas dimulai dengan ambil darah. Berharap2 cemas. Mudah2an sudah naik. Tiba2 pintu kamar dibuka, “ bu masih turun, 19000”. Duughh. Saya pasrah. Tidak membohongi kalau saya sudah berpikiran macam2. Kondisi yang terburuk yang mungkin terjadi. Sedih dan takut itu jelas. Terbayang anak2 saya. Wajah mereka apalagi yang baby itu. Terngiang2 celotehnya ketika bangun tidur. Teringat amalan2 saya yang masih minim. Suami nggak berani pulang karena pasti ditanya oleh orang tua saya tentang keadaan saya. “Kemarin bapak tiba2 sakit dengar bunda trombositnya turun terus” kata suami saya. SMS teman2 mohon doa dan juga dimaafkan kesalahan2 saya. Pokoknya dah pesan2lah.
Dokter memberi pilihan antara observasi dan transfusi. Suami meradang. “Sebagai dokter, anda yang lebih paham tentang kondisi istri saya. Bagaimana sebaiknya. Apa yang harus dilakukan segera. Bukan memberi pilihan seperti ini” begitu argumen suami saya. Akhirnya melihat kondisi saya yang stabil dokter tersebut memilih observasi dulu sampai besok hari. Suami pun mencari second opinion kepada adik sepupunya yang juga dokter spesialis. Pendapatnya sama. ‘Lihat saja dulu karena transfusi juga belum tentu menyelesaikan masalah’. Walaupun demikian istri kakak ipar bergerak cepat. Beliau mengontak temannya di PMI untuk menyiapkan 5 ampul golongan darah B jika besok saya butuh.
Sore jam 5.30 saya diambil darah lagi. Deg-degan lagi. Berapa yah? Sudah naikkah? Kakak2 ipar, bujing2 (tante dalam bahasa batak) kumpul di dalam kamar. Saya terhibur walaupun tetap sport jantung. “Brak!” pintu dibuka dengan keras. Semua kepala menoleh kearah datangnya suara. Saya sendiri menatap suster tersebut dengan pandangan aaahh....(nggak tahu mengungkapkanya). “naik bu, 26000”. “Alhamdulillaaah” terdengar koor panjang. Saya pun mengucapkan syukur kepada Allah. Legaaaa rasanya. Sekarang bisa tertawa dengan lepas tanpa beban.
Tetapi cobaan nggak sampai disitu. Sehari menjelang pulang, tiba2 kepala bagian belakang sebelah kiri berdenyut2 yang membuat saya nggak bisa tidur. Rasanya jangan ditanya. Dikasih obat penenang, obat tidur tetap saja nggak mempan. Obat2an yang diberikan kepada saya memang dosisnya terbatas karena saya masih menyusui. Walaupun obat2 ini pula pada akhirnya ASI saya sempat berhenti beberapa hari.
Setelah 9 hari dirawat saya pulang dengan kepala yang masih berdenyut2 dan harus cek ke dokter spesialis saraf pada sore dihari yang sama saya discharge dari hospital. “Ini hanya spasm bu. Saya kasih obatnya. Setelah ini cek lagi dengan dokter spesialis penyakit dalam ya” jelas dokter. Arrrghhh....Sebelum berangkat tadi bapak saya sempat khawatir.”Lho eneng opo mbalik nang omah sakit meneh?kowe ora opo2 tho?”.
Namun di balik cobaan ada hikmah. Janji Allah pasti benar. Alhamdulillah ada kejadian luar biasa yang dialami keluarga saya sewaktu saya jatuh sakit dan saya sangat bersyukur. Inikah jalannya? Sepertinya hidayah itu datang lewat sakitnya saya. Wallahu a'lam
Saya berterimakasih kepada semua keluarga/saudara dari pihak saya dan suami, teman2, tetangga yang sudah menyempatkan datang menjenguk dan memberikan doa untuk kesembuhan saya.